MAKALAH
MATA
KULIAH HUKUM ACARA PIDANA
“
PERADILAN KONEKSITAS “
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan dan penyempurnaan sistem hukum
merupakan salah satu aspek penting bagi upaya pengembangan profesionalisme tentara
sebagai kekuatan dan alat pertahanan negara. Dalam konteks tersebut penataan
sistem peradilan militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi
militer dan sector pertahanan. Amandemen UUD 1945 pasal 30 ayat (2), (3) dan
(4) menempatkan fungsi pertahanan dan keamanan pada institusi yang berbeda,
yaitu pertahanan pada institusi TNI dan keamanan pada institusi Kepolisian.
Dengan demikian ketentuan yang mengatur hukum material dan hukum acara keduanya
harus diubah. Ketetapan No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan No. VII/MPR/2000 secara
eksplisit telah memisahkan POLRI dari angkatan bersenjata (TNI), sekaligus
menundukkan prajurit TNI dan anggota POLRI kepada hukum dan prosedur peradilan
pidana umum.
Ketentuan mengenai koneksitas yang diatur dalam prosedur
peradilan pidana umum tidak sesuai dengan kehendak perubahan yang tersebut
dalam butir (1) dan (2).
Ketentuan
mengenai koneksitas yang telah diatur dalam prosedur peradilan pidana umum
tidak sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang menempatkan militer di
bawah kontrol otoritas politik demokratis.
Adanya tindak pidana yang melibatkan unsur sipil dan
militer baik dalam hal subyek maupun tindak pidana yang menyebabkan terjadinya
konflik yurisdiksi (tumpang tindih kewenangan mengadili) sehingga dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum.Konflik yurisdiksi dan ketidakpastian hukum
ini juga berasal dari ketentuan hukum yang menyerahkan otoritas menentukan
kewenangan peradilan itu kepada militer.Kebutuhan untuk mengatasi
ketidakpastian hukum akan terus terjadi, karena dalam jangka panjang masih
mungkin ada suatu tindak pidana yang berada dalam dua yurisdiksi peradilan. Hal
ini disebabkan oleh diabaikannya prinsip pembedaan penempatan satuan militer
dan instalasi militer dari civilians dan civilian objects sesuai dengan hokum
humaniter.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
permasalahan dari makalah ini dalah sebagai berikut :
·
Apa pengertian Peradilan Koneksitas ?
·
Apa dasar hukum dari Peradilan
Koneksitas ?
·
Bagaimana proses bekerja Peradilan
Koneksitas ?
·
Apa manfaat Peradilan Koneksitas ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
·
Untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Hukum Acara Pidana
·
Mengetahui Peradilan Koneksitas
·
Mengetahui Sistem kerja Peradilan Koneksitas
·
Memberkan informasi mengenai Peradilan
Koneksitas
·
Memberikan informasi mengenai perbedaan
peradilan militer dan peradilan umum
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
·
Dapat mengetahui Peradilan Koneksitas
·
Memahami bagaimana proses kerja
peradilan koneksitas
·
Mengetahui perbedaan Peradilan militer
dan peradilan umum
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Peradilan Koneksitas
Peradilan koneksitas adalah suatu system peradilan
yang diterapkan atas suatu tindak pidana dimana diantara tersangkanya terjadi
penyertaan antara penduduk sipil dengan anggota militer. Menurut Prof Andi Hamzah yang dimaksud dengan
peradilan koneksitas adalah system peradilan terhadap tersangka pembuat delik
penyertaan antara orang sipil dengan orang militer. Beliau juga berpendapat bahwa
di dalam peradilan koneksitas selalu terjadi penyertaan antara penduduk sipil
dengan orang militer. Dari pengertian di atas dapatlah kita lihat bahwa yang
menjadi permasalahan pokok di dalam peradilan koneksitas adalah mengenai
yuridiksi mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang melibatkanpenyertaan
antara penduduk sipil dengan anggota militer.
Pengertian koneksitas yang ditegaskan dalam KUHAP pasal 89 adalah tindak pidana
yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum
dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan di adili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan
Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan
di adili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Koneksitas adalah mekanisme hukum acara untuk
mengadili tindak pidana yang perkaranya dicakup oleh kewenangan dua peradilan
yakni Peradilan Militer dan Peradilan Umum, khususnya tindak pidana yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang secara paralel diatur dalam hukum
pidana militer dan umum.
1. Peradilan
Militer
Peradilan Militer adalah lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai
kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer. Dasar hukum
pengadilan militer adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diperbarui oleh
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, peradilan
militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan
bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Dalam pelaksanaannya peradilan militer dijalankan oleh
pengadilan militer, yakni pengadilan yang merupakan badan pelaksana kekuasaan
kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata. Pengadilan dalam peradilan militer
terdiri atas pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer
utama, dan pengadilan militer pertempuran. Susunan organisasi dan prosedur
pengadilan-pengadilan tersebut didasarkan pada peraturan pemerintah. Puncak
kekuasaan kehakiman dan pembinaan teknis pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer adalah Mahkamah Agung.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
berwenang:
Mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak
pidana adalah Prajurit , Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan
dengan prajurit , Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang
dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang,
Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi
atas putusan panglima dengan persetujuan menteri kehakiman harus diadili oleh
suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Peradilan
Umum
pengadilan negeri adaah suatu pengadilan (umum) yang
memeriksa dan memutuskan perkara tinggkat pertama dari segala perkara sipil
untuk semua golongan penduduk (warga negara dan orang asing). setiap perkara
dalam pengadilan negeri diadili oleh sekurang-kurangnya tiga orong hakim yang
dibantu oleh seorang panitera. perkara summier (perkara-perkara ringan yang
ancaman hukuman kurang dari satu tahun) diadili oleh seorang hakim (hakim
tunggal) daerah hukum pengadilan negeri
pada dasarnya meliputi daerah kabupaten/kota.Dengan demikian, pengadilan negeri
berwenang memeriksa dan memutuskan sesuatu perkara perdata atau pidana yang
terjadi dalam wilayah daerah kabupaten/kotayang menjadi kekuasaannya. berkaitan
dengan hal ini, pengadilan negeri memiliki kewenangan nisbi, kewenangan nisbi
adalah kewenangan untuk memeriksa gugatan atas tuntutan berdasarkan tempat
tinggi tergugat. Pengadilan negeri dipimpin oleh seorang kepala beserta seorang
wakil kepala, beberapa orang hakim yang dibantu oleh seorang panitera, beberapa
orang panitera pengganti, sekretaris, dan juru sita. panitera diangkat dan
diberhentikan oleh menteri kehakiman, sedangkan panitera pengganti diangkat dan
diberhentikan oleh kepala pengadilan yang bersangkutan. panitera bertugas
memimpin bagian administrasi atau tata usaha. ia dibantu oleh wakil panitera,
beberapa panitera pengganti, dan karyawan-karyawan lainnya.juru sita bertugas
melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang, menyampaikan
pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, memberitahukan putusan pengadilan, dan
melakukan penyitaan.Pada setiap pengadilan negeri ditempatkan kejaksaan negeri
yang terdiri atas seorang atau lebih jaksa dan jaksa-jaksa muda. daerah
kekuasaan kejaksaan sama dengan daerah kekuasaan pengadiln negeri.Kejaksaan
adalah alat pemerintah yang bertindak sebagai penuntut umum dalam suatu perkara
pidana terhadap pelanggaran hukum pidana (bertindak untuk mempertahankan
kepentingan umum).
2.2
Dasar Hukum Peradilan Koneksitas
Dasar hukum yang paling pokok peradilan koneksitas didalam
pasal 22 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman. Pasal tersebut berbunyi:
“ Tindak pidana yang dilakukan
bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan
lingkungan peradilan militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, kecuali kalau menurut keputuasn Menteri
Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”
Selain itu , pasal
89 (1) KUHAP , maka dapat kita jelaskan bahwa apabila terjadi sebuah peristiwa
pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh warga sipil yang secara hukum
berada dalam lingkungan peradilan umum dengan anggota Tentara Nasional
Indoensia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang secara hukum
berada dalam lingkungan peradila militer.
Untuk metapkan pengadilan mana yang akan mengadili di atur
dalam pasal 90 KUHAP yaitu, untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan
mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat 1, dia adakan
penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur
milter tinggi atas dasar hasil penyelidikanb tim tersebut pada pasal 89 ayat 2.
Koneksitas hanya dibentuk dalam kerangka transisi (amandemen
KUHP Militer atau adanya pembagian yang jelas antara KUHP dan KUHPM) dan akan
ditampung dalam aturan peralihan UU Peradilan Militer dan KUHAP. Kerangka
transisi berlaku sampai dipenuhinya syarat perubahan pada (1) UU No. 31 tahun
1997 tentang Peradilan Militer, dan (2) KUHPMselambat-lambatnya hingga akhir
Desember 2005.
Pengaturan tentang
koneksitas ditempatkan pada bagian aturan peralihan amandemen KUHAP.
2.3
Proses Bekerja Peradilan Koneksitas
Sebuah perkara
koneksitas itu diperiksan dan diadili oleh lingkungan Peradilan Militer itu
diatur dalam ketentuan pasal 90 KUHAP yang menjelaskan : untuk menentukan apakah lingkungan peradilan
militer yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas, diukur
dari segi “kerugian” yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu, apabila kerugian
yang ditimbulkan oleh sebuah tindak pidana tersebut lebih memberikan kerugian
terhadap “kepentingan militer”, sekalipun pelaku tindak pidananya lebih banyak
dari kalangan masyarakat sipil, pemeriksaan perkara koneksitas akan dilakukan
oleh lingkungan peradilan militer. Selama kerugian yang ditimbulkan oleh tindak
pidana yang terjadi tidak merugikan kepentingan militer, sekalipun pelakunya
lebih banyak anggota TNI/Polri, maka perkara koneksitas diperiksa dan diadili
oleh lembaga peradilan umum.
Penyidikan
Perkara Koneksitas
Pasal
89 (2) KUHAP telah menentukan cara dan aparat yang berwenang dalam melakukan
penyidikan terhadap perkara koneksitas. Aparat penyidik perkara koneksitas
terdiri dari suatu “tim tetap”, yang terdiri dari unsur :
a. Unsur Penyidik Polri;
b. Polisi Militer;
c. Oditur Militer atau Oditur Militer
Tinggi
Cara bekerja tim disesuaikan dengan
kewenangan yang ada pada masing-masing unsur tim. Bila dilihat dari segi
wewenang masing-masing unsur tim, maka :
a. tersangka pelaku sipil diperiksa oleh
unsur penyidik Polri.
b. Sedangkan tersangka pelaku anggota
TNI/Polri diperiksa oleh penyidik dari Polisi Militer dan Oditur Militer.
Susunan
Majelis Peradilan Koneksitas
Susunan Majelis Hukum peradilan
perkara koneksitas disesuaikan dengan
lingkungan peradilan yang mengadili perkara tersebut.
a. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan
diadili oleh lingkungan peradilan umum, maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
·
Sekurang-kurangnya Majelis Hakim terdiri
dari tiga orang.
·
Hakim Ketua diambil dari Hakim Peradilan
Umum (Pengadilan Negeri).
·
Hakim Anggota ditentukan secara
berimbang antara lingkungan peradilan umum dengan lingkungan peradilan militer.
b. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan
diadili oleh lingkungan Peradilan Militer, maka susunan Majelis Hakimnya adalah
:
·
Hakim Ketua dari lingkungan Peradilan
Militer.
·
Hakim Anggota diambil secara berimbang
dari hakim Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
·
Hakim Anggota yang berasal dari
lingkungan Peradilan Umum diberi pangkat militer “tituler”.
·
Yang mengusulkan Hakim Anggota adalah
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama dengan Menteri Pertahanan.
Susunan ini juga berlaku pada
susunan Majelis Hakim pada tingkat Banding.
Dalam hal melakukan upaya paksa
penangkapan dan penahanan dalam suatu tindak pidana umum yang melibatkan pelaku
militer, Polisi Militer wajib membantu Kepolisian. Kejaksaan memiliki
kewenangan penuh untuk melakukan penuntutan dalam suatu tindak pidana umum yang
melibatkan pelaku militer. Dalam hal Polisi Militer sebagai penyidik tindak
pidana kemiliteran mengetahui telah terjadi pula tindak pidana umum yang
dilakukan oleh pelaku militer maka Polisi Militer wajib menyerahkan kepada
pihak Kepolisian. Tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer berlaku
ketentuan penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan di dalam KUHAP.
Pelibatan PM dalam penyidikan tindakan pidana umum yang dilakukan oleh prajurit
dilakukan apabila polisi memerlukan upaya paksa, termasuk, tapi tidak terbatas
pada, tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan
surat. Komandan satuan wajib melaporkan kepada Polisi selambat lambatnya 3 x 24
jam setelah diketahui adanya tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit
bawahannya. Polisi wajib memberitahu komandan satuan selambat lambatnya 1 x 24
jam setelah melakukan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
dan pemeriksaan surat terhadap prajurit bawahannya.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Adanya tindak pidana yang melibatkan
unsur sipil dan militer baik dalam hal subyek maupun tindak pidana yang
menyebabkan terjadinya konflik yurisdiksi (tumpang tindih kewenangan mengadili)
sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Peradilan militer hanya memiliki
kewenangan atas tindak pidana militer yang dilakukan oleh Prajurit TNI yang
melanggar ketentuan hukum pidana militer sedangkan pengadilan umum memiliki
kewenangan mengadili tindak pidana yang dilakukan prajurit militer yang
melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pidana umum. dalam hal
seseorang melakukan tindak pidana umum dan sekaligus di dalamnya terdapat
tindak pidana militer, maka menjadi tindakan ini menjadi kewenangan peradilan
umum melalui mekanisme koneksitas.
mohon ijin share. trim
terimakasih. sangat membantu kak. tetap semangat nulisnya